Sabtu, 25 Februari 2012

CINTA BUKAN BERASAL DARI HATI TAPI OTAK

Jatuh cinta berjuta rasanya. Saat seseorang merasakan cinta yang mendalam, jantungnya berdetak kencang, perut seperti terikat, emosinya naik-turun, merasa luar biasa bahagia beberapa saat lalu cemas dan putus asa sesaat kemudian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perasaan seperti itu datangnya dari otak, bukan hati.
Dalam sebuah studi ilmuwan memantau citra resonansi magnetis otak dari sepuluh wanita dan tujuh pria yang mengaku sedang jatuh cinta. Usia hubungan mereka berkisar dari satu bulan sampai kurang dari dua tahun. Para partisipan ditunjukkan foto orang yang mereka cintai, dan foto-foto orang yang mirip.


Otak para partisipan bereaksi begitu melihat foto kekasih mereka, menghasilkan respon emosional pada bagian otak yang sama yang biasanya merespon motivasi dan pujian.

"Cinta mendalam yang penuh hasrat menggunakan sistem yang sama pada otak dengan yang biasanya aktif saat seseorang kecanduan obat-obatan," kata Arthur Aron, psikolog dari State University of New York, yang mengetuai penelitian. Dengan kata lain, mereka kecanduan orang yang mereka cintai seperti halnya obat-obatan.

Para ahli mengatakan bahwa romantisme cinta merupakan perasaan paling kuat yang bisa dirasakan seseorang. Otak manusia telah terhubung sedemikian rupa sehingga bisa memilih pasangan, dan manusia menjadi termotivasi untuk mendapatkan pasangan yang diinginkannya, beberapa malah ada yang bertindak ekstrim untuk mencari perhatian dan kasih sayang.

"Kita merasa bahagia saat jatuh cinta, sekaligus merasa cemas," kata Lucy Brown, rekan Arthur, seorang ahli saraf dari Albert Einstein College of Medicine, New York.

Lucy menjelaskan bahwa bagian pujian pada otak, juga disebut pusat kesenangan, adalah bagian penting untuk bertahan hidup. "Bagian tersebut membantu kita mengenali kebahagiaan." 

Lalu apakah rasa cinta bisa pudar? 

Tidak selalu. Arthur menjelaskan hasil penelitian lain yang melibatkan hasil pemindaian MRI pada sepuluh wanita dan tujuh pria yang sudah menikah selama rata-rata 21 tahun, dan mengaku masih merasakan cinta yang mendalam terhadap pasangannya.

Ilmuwan menemukan bahwa bagian otak pada masing-masing orang yang sudah lama menjalin hubungan juga bereaksi saat melihat foto pasangan mereka. Cinta yang bertahan lama memicu aktivitas pada bagian otak yang berhubungan dengan ikatan dan menyukai pujian.

"Bagi kebanyakan orang, pola standarnya adalah rasa cinta penuh hasrat menurun secara gradual, akan tetapi rasa keterikatan malah tumbuh," kata Aron.

Ikatan tersebut memungkinkan pasangan untuk hidup bersama dalam waktu lama dan membesarkan anak. "Kebanyakan mamalia tidak membesarkan anak bersama-sama, akan tetapi manusia melakukannya."

Perlu diperhatikan, penelitian otak menunjukkan bahwa cinta berubah dari masa ke masa. "Selama cinta masih bertahan, kita terbiasa dengan sebuah hubungan, dan kita tidak takut pasangan kita akan meninggalkan kita," kata Arthur.